PADMA Indonesia Sikapi Kasus Pencurian dengan Terduga Pelaku Napi Lapas Atambua

Malaka-NTT, Pelayanan Advokasi Untuk Keadilan dan Perdamaian (PADMA) Indonesia di Jakarta menyikapi kasus pencurian barang elektronik dengan terduga pelaku narapidana (napi) Lapas Kelas IIB Atambua.

Direktur Advokasi PADMA Indonesia, Greg Retas Daeng, S.H kepada media ini, Kamis (17/4/25) mengatakan pihaknya menganalisa secara mendalam atas kejadian pencurian yang diduga melibatkan oknum napi Lapas Atambua dan memberikan catatan penting sebagai berikut.

Pertama, kasus tersebut bukan hanya murni perbuatan pidana yang dilakukan seorang. Ini patut diduga dilakukan secara terencana yang melibatkan oknum pihak Lapas setempat, dengan cara sengaja atau lalai menjalankan peran pemasyarakatannya. Kepala lapas dan semua staff yang ada perlu juga diperiksa dan bila ada indikasi pidana penyertaaan, mereka juga harus diproses hukum.

Kedua, selain aspek pidana pencurian, kasus ini pun sebagai kasus yang punya dimensi persoalan secara struktural. Sebab ada beberapa aspek persoalan yang harus dibaca masyarakat di Kabupaten Belu dan sekitarnya di antaranya, pertama, aspek hukum yang berkaitan dengan kelemahan efek jera.

Hukuman penjara tampaknya belum memberikan efek jera. Ini menunjukkan sistem peradilan pidana masih berfokus pada penghukuman, bukan pada rehabilitasi pelaku, sehingga perubahan watak atau perilaku napi tidak terbentuk secara maksimal. Residivisme sebagai pemberat.

Dalam hukum pidana Indonesia, status residivis seharusnya menjadi pertimbangan pemberat hukuman. Namun, implementasinya seringkali tidak konsisten. Ini penting bila mana pelakuknya seorang residivis pidana yang sama. Kebutuhan reformasi sanksi. Sistem sanksi perlu dievaluasi agar lebih menitikberatkan pada perubahan perilaku, bukan sekadar pemidanaan jangka pendek.

Kedua, aspek sosial dan ekonomi yang berkaitan dengan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Banyak residivis pencurian berasal dari latar belakang ekonomi rendah. Setelah keluar dari penjara, mereka tidak punya akses terhadap pekerjaan layak atau dukungan sosial, sehingga kembali melakukan kejahatan. Stigma sosial, seorang napi ataupun mantan napi sering mengalami diskriminasi dalam masyarakat dan dunia kerja. Stigma ini mempersulit reintegrasi sosial dan meningkatkan potensi pengulangan tindak pidana. Lingkungan sosial yang tidak mendukung. Jika napi kembali ke lingkungan yang permisif terhadap kejahatan, peluang untuk berubah menjadi kecil.

Ketiga, aspek pemasyarakatan. Program pembinaan tidak efektif. Banyak lembaga pemasyarakatan hanya fokus pada pengamanan, bukan pembinaan. Kurangnya program pelatihan keterampilan dan pendampingan psikososial memperbesar kemungkinan napi mengulangi kejahatannya.

Overcrowding di Lapas, kepadatan Lapas memengaruhi kualitas pembinaan. Napi justru bisa saling mempengaruhi dalam konteks negatif. Minimnya pendampingan pasca-bebas. Lapas seharusnya bekerja sama dengan instansi sosial dan masyarakat untuk menyiapkan eks napi kembali ke masyarakat.

Sayangnya, program ini masih lemah. Pengawasan yang lemah. Lemah pengawasan aparatur Lapas setempat sehingga menjadi atensi serius sehingga pelaku bisa lolos dari sistem penjagaan Lapas yang lumayan ketat. Tentu menimbulkan tanda tanya dan kecurigaan besar publik

Ketiga, rekomendasi kritis. Pertama, perlu penguatan rehabilitasi dan reintegrasi sosial berbasis komunitas bagi mantan napi. Kedua, negara harus mendorong restorative justice, terutama untuk pelaku pencurian dengan motif ekonomi. Ketiga, diperlukan sinergi antar sektor (hukum, sosial, ekonomi, pendidikan, keagamaan) dalam penanganan residivis. Keempat, pemerintah perlu mengembangkan mekanisme pemantauan dan pendampingan napi dan mantan napi setelah masa hukuman berakhir, khususnya bagi pelaku kejahatan berulang. Kelima, proses penyidikan harus dikawal publik. Semua yang terkait di dalam harus diperiksa dan bila perlu dituntut pidana atas kelalaian ataupun ikut serta dalam kejahatan tersebut. (pm-01/tim)